RINDU-Sebuah Resensi Novel Karya Tere Liye
“Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Saya penasaran
dengan novel ini karena beberapa hal. Pertama, karena saya pernah membaca
sebuah resensi yang menyatakan bahwa buku ini sama spektakuler nya dengan novel
Tere Liye yang lain: Rembulan Tenggelam di Wajahmu (RTdW). FYI, RTdW merupakan
salah satu novel yang berhasil mengubah pandangan hidup saya 180 derajat. Dan
saya belum menemui lagi novel seperti itu.
Memang ada
kesamaan antara RTdW dan Rindu. Mereka sama-sama berkutat mengenai pertanyaan
hidup anak manusia yang terkadang jawabannya tak dapat dipahami kecuali oleh
mereka yang hati dan pikirannya jernih. Bedanya, RTdW membahas 5 pertanyaan
dari seorang tokoh utama sedangkan Rindu membahas 5 pertanyaan juga dari 5
tokoh yang berbeda. Perbedaan lain akan saya bahas nanti.
Kedua, tentu
karena nama besar pengarangnya, Tere Liye, yang telah mampu merebut hati banyak
orang dengan untaian kata yang memukau dalam setiap karyanya. Buktinya, hampir
setiap karyanya masuk jajaran buku best
seller.
Ketiga, karena sampulnya
menurut saya bagus, rada abstrak kayak saya *eh*. Dan keempat karena ada teman
yang dengan nyebelinnya ‘mingin-mingini’
saya *oke abaikan*. Lagian saya beli pas ada diskon 20% untuk novel dan komik
tiap hari Kamis di Togamas Kotabaru, Yogyakarta *loh malah promosi -,-*
Rindu, mengambil
setting sebuah kapal haji milik Belanda tahun 1938 bernama Blitar Holland. Dari
sini saja saya sudah bergumam, wah ini riset sejarahnya pasti kece nih. Jarang
lho ada yang kepikiran setting begitu. Benar saja, Tere Liye berhasil
menghadirkan suasana ‘jadul’ kepada pembaca yang sama sekali awam terhadap sejarah.
Bagaimana orang-orang zaman itu berpakaian, bagaimana kendaraan yang dipakai,
bagaimana suasana pelabuhan di tiap kotanya, bahkan interaksi penduduk pribumi
dengan tentara Belanda menurut saya digambarkan dengan cukup baik.
Perlu dicatat
bahwa tahun 1938 Indonesia belum merdeka. Indonesia masih di bawah pemerintahan
Hindia Belanda. Dan novel ini menceritakan perjalanan haji di zaman itu yang
tentu tak semudah sekarang. Perjalanan ditempuh dengan kapal selama 9 bulan
sejak berangkat dari Indonesia. Hemm, cukup lama bukan?
Namun sejak awal
saya mencatat, jika setting novel berada di kapal, akan ada tantangan
tersendiri untuk membuat alur cerita menjadi tidak membosankan. Lokasi kapal
termasuk dalam setting tertutup, artinya tokoh dalam novel tidak akan ke
mana-mana selain beraktivitas di kapal (tentang setting tertutup ini saya merasa
pernah membacanya di manaaa gitu, tapi lupa referensinya >.<).
Benarlah, di
awal novel saya antusias membaca tentang seluk beluk kehidupan di kapal. Dari mulai
bangun tidur, solat subuh, sarapan bersama di kantin, kegiatan kelasi dapur,
istirahat siang, solat dzuhur, makan siang, solat asar, anak-anak mengaji,
solat magrib, makan malam, solat isya, tidur di kabin hingga bangun lagi. Ingat,
ini kapal haji, semua penumpangnya muslim lah ya. Jadi adegan solat berjamaah
itu adalah sebuah keniscayaan. Terkadang diceritakan pula kesibukan dermaga
ketika kapal berlabuh dan angkat sauh. Di situ diceritakan gambaran kota-kota
pelabuhan yang disinggahi, cukup membuat kita ingin berjalan-jalan ke sana.
Dan lalu ada
titik di mana pembaca mulai bosan karena kegiatan dalam sehari itu diulang
terus menerus di hari berikutnya. Padahal, perjalanan kapal ditempuh kurang
lebih dua bulan! Saya sendiri sering skip bagian cerita, terutama adegan makan,
sehari-hari di kapal itu.
Menurut saya
juga, kentara sekali Tere Liye berusaha menyisipkan konflik-konflik, khas
adegan di kapal, untuk mengusir kebosanan itu. Yah, cukup menarik menurut saya.
Apalagi bagian ketika Gurutta Ahmad Karaeng dipenjara dan lalu memimpin perlawanan
terhadap perompak kapal *ups spoiler*
Tantangan yang
kedua, tentang 5 pertanyaan hidup dari 5 tokoh yang menjadi inti cerita novel
ini. Mau tidak mau saya membandingkannya dengan RTdW yang juga membahas tentang
pertanyaan hidup. Dan sepertinya, saya harus kecewa kali ini...
Untuk yang sudah
pernah membaca RTdW seperti saya, menurut saya solusi atas 5 pertanyaan dalam
novel Rindu tidak se-spektakuler pendahulunya. Saya mulai khawatir ketika sudah
membaca setengah dari isi novel namun belum ada tanda-tanda pertanyaan hidup
tokoh-tokohnya akan diulas. Benar saja, pada akhirnya hanya tersisa sedikit
ruang untuk membahas solusi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Menurut saya
sih jadi kurang dalam maknanya. Tidak seperti di RTdW yang sampai menghunjam
hati dan bikin melongooooo (lebay).
Ada 5 pertanyaan
dari 5 tokoh, seperti yang saya bilang tadi. Di luar kekurangan yang ada,
pemilihan tema pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup menarik. Ada kisah Daeng
Andipati yang seorang saudagar kaya ternyata menyimpan dendam terpendam kepada
ayahnya. Ambo Uleng seorang kelasi kapal tangguh yang ternyata takluk oleh gejolak
romansa khas anak muda. Bonda Upe yang seorang guru ngaji ternyata menyimpan
cerita kelam dalam hidupnya. Kisah kehilangan yang amat sangat dari seorang
Mbah Kakung akan belahan jiwanya selama ini. Dan pertanyaan dari Gurutta Ahmad
Karaeng sendiri, yang biasanya menjawab pertanyaan tokoh lain, mengenai prinsip
hidup yang diyakininya.
Nasihat-nasihat
yang disampaikan Tere Liye pada solusi yang diawarkan tetap menohok, as usual. Kata-katanya tetap mengusik hati kita yang paling dalam, as usual. Dan as usual juga, Tere Liye tetap jadi penulis favorit saya (haha).
Nah, itu yang
bisa saya sampaikan tentang novel ini. Kata penutup, (apa ya??)
Tentang Rindu,
salahkah bila Rindu datang menghampiri?
Pertanyaan nya,
apakah Rindu itu hadir di saat yang tepat sebagai penguat?
Ataukah ia
datang saat kita terlena
dan hanya akan menjadi penyesalan?
Hati-hatilah
dengan perasaanmu,
mungkin itu
memang Rindu,
tapi mungkin
juga ia Sembilu
*halah opo to
iki xD*
Komentar
Posting Komentar