Yogyakarta Berhati Nyaman

            Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi di pulau Jawa yang terdiri atas 5 kabupaten/kota (Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul). Namun biasanya untuk mudahnya kami menyebutnya Yogyakarta saja, entah wilayah manapun itu, atau yang lebih nyaman di lidah kami adalah Jogja.
Jogja adalah daerah Istimewa, karena ia masih mengakui raja sebagai pemimpinnya. Raja saat ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X bertahta dari keraton memegang tampuk kekuasaan provinsi DIY bersama paduka Sri Paku Alam X sebagai wakil gubernur. Ia istimewa, karena dengan begitu, kehidupan keraton dengan segala adat budayanya masih ‘mencengkeram’ kuat wilayah Yogyakarta, mewarnai karakter dan etos kerja rakyatnya.
           Jogja juga dikenal sebagai kota pelajar, puluhan sekolah dan universitas favorit tumpah ruah di kota gudeg ini. Sehingga penduduknya pun majemuk. Banyak kisah tentang Jogja adalah kisah pelajar/mahasiswa perantauan dari seluruh Indonesia yang berusaha mengais ilmu di Yogyakarta. Dan masing-masing kisah memiliki keunikannya. Demikian pula kisah saya dan Jogja :)
            Banyak orang bilang kau akan merasa memiliki ketika sudah kehilangan. Ya, saya hampir kehilangan Jogja saat mulai menuliskan ini. 6 tahun terakhir saya berada di Jogja untuk menamatkan kuliah di kampus (yang katanya) kerakyatan. 6 tahun, bukan waktu yang sebentar kawan. Terlalu banyak memori tertorehkan.
           Tak seperti anak rantau lain yang baru pertama kali dan mengalami euforia tinggal di Jogja saat kuliah, saya yang tinggal di Klaten sudah wira-wiri Jogja hampir seminggu sekali sejak masih orok (halah lebay). Maklum, Klaten adalah kota kecil yang pada jaman dahulu tak memiliki fasilitas lengkap seperti di Jogja. Ditambah faktor kedua orang tua saya yang juga alumni kampus Jogja, mereka lebih memilih pergi ke Jogja (atau Solo) untuk memenuhi barang-barang kebutuhan sekunder (pakaian, elektronik, dll) dan tersier (nonton bioskop, pariwisata,dll). Lebih berkualitas dan lebih murah katanya. Jadi ketika awal masuk kuliah, buat saya tinggal di Jogja itu yaa, biasa aja gitu.
            Sewaktu kecil, saya sudah khatam hampir semua tempat hits pariwisata Jogja tahun 2000-an macam Candi Prambanan, Candi Sambisari, Malioboro, Keraton, Pantai Parangtritis, Pantai BKK (Baron-Kukup-Krakal), Kaliurang, Gembira Loka, hingga ‘ancol’ nya Jogja  (hayooo ada yang tau gak ini di mana?). Jaman segitu belum ada tuh yang namanya puncak Becici atau Kebun Buah Mangunan. Dan dulu, tempat favorit keluarga kami ‘nongkrong’ kalau pergi ke Jogja adalah daerah UGM. Sekitar bunderan dan lembah adalah spot paling nyaman. Itu dulu ya, dulu, jaman bunderan UGM belum dikasih portal dan masih banyak pedagang es buah berjualan di sekitar bunderan sampai gedung pusat. Sedangkan lembah, lebih tepatnya di daerah kolam lembah, masih hijau dan bersih asri banyak dipakai orang jogging atau pacaran *eh.
        Saya masih ingat, dulu sekitar tahun 2000 saat bulan Ramadhan, saya diajak jalan-jalan ke Jogja. Kalau tidak salah karena ada diskon di Ramayana, toko favorit kami mencari diskonan dulu (haha). Saat itu saya masih TK, belum puasa penuh, masih setengah hari.hehe. Ketika Dzuhur tiba, itu saatnya saya ‘berbuka puasa’. Lalu orang tua memilih beristirahat sejenak di lembah. Sambil menyuapi saya dengan bekal nasi putih dan telor ceplok yang dibawa dari rumah. Ah,, saya rasa itu ‘buka puasa’ alias makan siang ternikmat saya seumur hidup.  Di tengah kerimbunan pepohonan di lembah, diiringi semilir angin membelah kolam yang saat itu saya asumsikan berisi monster Loch ness, eh maksud saya ikan-ikan yang cuap-cuap minta makan.
            Ketika masuk kuliah tahun 2011 dan saya berusaha nostalgia ke lembah, ternyata kawasan itu sudah ditutup dan tidak lagi terurus. Yahh kecewa. Dan pula ada peraturan masuk UGM lewat bunderan harus pakai KIK lah, kemudian bayar lah, lalu pakai karcis kuning lah, karcis pink lah. Sampai-sampai Papa saya yang dulu biasa lewat UGM merasa ‘takut’ untuk masuk jika kebetulan lagi nengokin saya. Kemudian kawasan lembah berubah jadi kantong parkir. Ruwet. Seenggaknya kalau hari Ahad masih bisa menikmati sunmor, eh sekarang dipindah juga.hmm. Tapi setahun terakhir kelihatannya kawasan lembah mulai ditata ulang. Bagian kolam itu sepertinya sudah dibuka. Dan sekarang sudah dibangun yang namanya wisdom park lembah UGM, taman kebijaksanaan (?).
        Saya dulu sama sekali tidak menyangka akan kuliah di UGM. Dulu saya hanya bisa mengamati rombongan kakak-kakak mahasiswa berdiskusi di rerumputan balairung. Kayaknya keren gitu, keliatan pinter aja. Alhamdulilah sekarang saya sudah menyelesaikan gelar dokter saya di sini.
          Itu baru tentang kampus. Jogja merajut banyak kenangan lain sepanjang kuliah. Pernah naik Trans Jogja hanya 4 ribu rupiah keliling Jogja tanpa tujuan? Saya pernah. Menghibur hati yang dirundung kecewa saat itu. Dan lalu, hanya dengan duduk di sekitar Benteng Vredeburg melihat lalu lalang kerumunan orang lewat di Jalan Malioboro pun hati saya telah menemukan obatnya.
         Jika ada yang bilang “Yang penting bukan pergi ke mana, tapi bersama siapa”, nah itu baru seru. Keikutsertaan saya dalam kegiatan-kegiatan kampus maupun di luar kampus juga mengukir memori bersama orang-orang yang terlibat. Makrab di pantai, malam-malam bikin api unggun sambil sharing dan bakar-bakar jagung, merayakan ulang tahun organisasi dengan makan-makan di atas bukit, ke gembira loka zoo cuman buat jadi mangsa nyamuk-nyamuk di arboretum (ide siapa sih dulu bikin rapat di sana ._.), bakti seni di desa wisata, pentas Ramayana Prambanan, dsb dst dll dkk. Maka benarlah bila Katon Bagaskara sampai bisa membuat lirik romantis macam, “Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…” :”)
          Jogja menjadi saksi perjuangan para mahasiswa menempuh kuliah. Kafe-kafe menjamur di mana-mana. Mengakomodasi pertumbuhan jumlah mahasiswa yang begitu pesat dan butuh tempat nyaman mengerjakan tugas. Selain juga menambah kemacetan. Terutama sekitar jalan Kaliurang kalau jam pulang kantor (sekitar jam 4-5 sore). Aduhhh, bikin pusing deh. Dari yang dulu jaman maba mau nyebrang jakal yaudah nyebrang aja, sekarang harus sabar setidaknya 5 menit kalau jam macet. Yah mungkin macet juga sebuah keniscayaan bagi kota besar yang bertumbuh. Namun mungkin kemacetan itulah yang membuat kami tangguh menyelesaikan gelar sarjana dan meraih cita *halah*.
       Jogja juga telah mengukir kisah, tentang dua orang anak manusia yang gamang menanti takdir. Di bawah temaramnya langit bertabur bintang, di tengah debur ombak yang melebur jarak. Entah kabar baik, atau kabar buruk, mereka menanti Yang Maha Kuasa menitiskan keputusan. Yang bisa mereka lakukan hanya menikmati waktu, menyusuri kehangatan sahut-sahutan pedagang di Malioboro, mengitari Alun-Alun Kidul dengan mitos ‘masangin’ nya, atau sekadar mengagumi kemegehan keraton yang menciptakan suasana ‘adem ayem tentrem’ yang membuat penghuninya selalu kangen kembali ke Jogja.
          Ahhhh, betapa Jogja memang menyenangkan untuk dirindu. Meski berbagai macam orang datang silih berganti, Jogja tak akan pernah berubah. Selama Merapi masih berdiri kokoh menjadi penunjuk arah utara, Yogyakarta tetap akan berhati nyaman. Seperti judul lancaran Pelog 6 yang dimainkan oleh UKJGS UGM pada Gladhi Madya 2015 berikut yang sangat nyaman didengarkan :)



Komentar

Postingan Populer