Mengingat Mati
<repost note fb : https://www.facebook.com/notes/dzerlina-s-rahari/mengingat-mati/10152641321382180 >
Minggu,7 September 2014
Wanita itu baru saja kehilangan suaminya. Setelah beberapa lama menyandang penyakit,suaminya meninggalkan seorang istri dan 2 orang putra,di usia 43 tahun. Usia yang cukup muda.
Aku menyalami wanita yang kupanggil bude itu. Ya,ia masih saudaraku. Meski bukan saudara langsung dari nenek. Kami memang jarang bertemu. Namun putrinya yang seumuran denganku dulu sering bermain bersama.
"Ndherek bela sungkawa,Budhe",aku mengungkapkan duka cita dalam bahasa Jawa. Tiba2 ia menggenggam tanganku erat. Dan segera memeluk ku sambil masih berurai air mata. Ia, yang kini janda,seolah2 ingin membagi bebannya kepada setiap pelayat yang datang.
Aku, yang tak siap dengan adegan itu, hanya bisa tertegun canggung. Yang akhirnya kulakukan hanyalah memeluknya balik. Namun, rasa kehilangan itu pun turut menghunjam batinku melalui pelukan itu. Ya Allah, kuatkan dia.
Sang mayit,pakdeku, semasa hidupnya dikenal sebagai pekerja keras. Ia rela melakukan apapun untuk membuat keluarganya sejahtera. Sesungguhnya, ia tahu bila kadar gula dalam darahnya tinggi. Namun,ia tak pernah mau berobat.
"Wong ra lara kok ditambakke",begitu katanya.
Memang,Diabetes Mellitus bisa tidak menimbulkan manifestasi klinis apa2 dari luar. Pasien pun bisa saja mengabaikan gejala2 awalnya seperti selalu haus,selalu lapar dan selalu merasa ingin kencing. Namun,jika dibiarkan terus menerus bisa menimbulkan masalah serius.
Maka pasien DM, dan mungkin keturunannya,diharap selalu kontrol ke dokter dan menjalani pengobatan seumur hidup. Seumur hidup? Ya,penyakit ini tak bisa sembuh sepenuhnya. Namun dengan kemauan kuat, gula darah bisa terkontrol dan pasien bisa menjalani hidup optimal seperti orang normal.
Telah banyak pentakziah yang datang. Terkadang,justru saat berduka seperti ini adalah kesempatan langka untuk bertemu saudara2 yang jarang kita jumpai. Maka segera saja banyak sapaan dan kehangatan mengalir diantara kami. Dan pertanyaan2 yang hampir pasti sama untukku.
"Eh niki mbak Dzerlin nggih? Wah saiki wis gedhe."
"Pun kuliah mbak?" *efek muka imut*
"Kuliah ten pundi? Oh UGM. Semester pinten? Wah sampun semester 7. Pun badhe lulus nggih? Wah kok cepet ya? Udah punya pacar belum?" *duh*
Dan selanjutnya,rangkaian acara layatan dimulai. Kami berdoa bersama semoga pakde khusnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan pun diberi ketabahan.
"Wilujeng tindak,Pakdhe..."
Rasullulah SAW menganjurkan kepada kita untuk bertakziah ke rumah duka agar kita juga teringat akan kematian. Karena menurut Imam Al-Ghazali,hal yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Dan hal paling jauh dari kita adalah masa lalu.
"Tiap yang bernyawa pasti akan mati"
Tak usah dinanti,ia pasti datang. Pertanyaannya,apakah kita siap??
Maka benarlah,mengingat mati adalah satu hal yang harusnya selalu kita lakukan. Kehidupan setelah mati, dipersiapkan sekarang, dalam hidup yang singkat ini.
Menjadi pilihan kita masing2,apakah akan mempersiapkannya dengan baik atau tidak? Apakah hidup ini hanya akan dijalankan dengan menuruti nafsu belaka? Ataukah menjalankannya dalam jalan kebenaran?
Semua perbuatan akan kita pertanggungjawabkan masing2. Ya,sendirian. Kelak di akhirat tak ada yang bisa menolong kita,tidak orang tua kita,kekasih kita,saudara2 kita,anak2 kita,atau sahabat2 kita. Tak ada yang dapat menolong kecuali amalan kita.
Di saat2 terakhir pemberangkatan jenazah pun, aku hanya terdiam memikirkan semua pertanyaan2 di atas. Apakah,aku sudah siap?
Minggu,7 September 2014
Wanita itu baru saja kehilangan suaminya. Setelah beberapa lama menyandang penyakit,suaminya meninggalkan seorang istri dan 2 orang putra,di usia 43 tahun. Usia yang cukup muda.
Aku menyalami wanita yang kupanggil bude itu. Ya,ia masih saudaraku. Meski bukan saudara langsung dari nenek. Kami memang jarang bertemu. Namun putrinya yang seumuran denganku dulu sering bermain bersama.
"Ndherek bela sungkawa,Budhe",aku mengungkapkan duka cita dalam bahasa Jawa. Tiba2 ia menggenggam tanganku erat. Dan segera memeluk ku sambil masih berurai air mata. Ia, yang kini janda,seolah2 ingin membagi bebannya kepada setiap pelayat yang datang.
Aku, yang tak siap dengan adegan itu, hanya bisa tertegun canggung. Yang akhirnya kulakukan hanyalah memeluknya balik. Namun, rasa kehilangan itu pun turut menghunjam batinku melalui pelukan itu. Ya Allah, kuatkan dia.
Sang mayit,pakdeku, semasa hidupnya dikenal sebagai pekerja keras. Ia rela melakukan apapun untuk membuat keluarganya sejahtera. Sesungguhnya, ia tahu bila kadar gula dalam darahnya tinggi. Namun,ia tak pernah mau berobat.
"Wong ra lara kok ditambakke",begitu katanya.
Memang,Diabetes Mellitus bisa tidak menimbulkan manifestasi klinis apa2 dari luar. Pasien pun bisa saja mengabaikan gejala2 awalnya seperti selalu haus,selalu lapar dan selalu merasa ingin kencing. Namun,jika dibiarkan terus menerus bisa menimbulkan masalah serius.
Maka pasien DM, dan mungkin keturunannya,diharap selalu kontrol ke dokter dan menjalani pengobatan seumur hidup. Seumur hidup? Ya,penyakit ini tak bisa sembuh sepenuhnya. Namun dengan kemauan kuat, gula darah bisa terkontrol dan pasien bisa menjalani hidup optimal seperti orang normal.
Telah banyak pentakziah yang datang. Terkadang,justru saat berduka seperti ini adalah kesempatan langka untuk bertemu saudara2 yang jarang kita jumpai. Maka segera saja banyak sapaan dan kehangatan mengalir diantara kami. Dan pertanyaan2 yang hampir pasti sama untukku.
"Eh niki mbak Dzerlin nggih? Wah saiki wis gedhe."
"Pun kuliah mbak?" *efek muka imut*
"Kuliah ten pundi? Oh UGM. Semester pinten? Wah sampun semester 7. Pun badhe lulus nggih? Wah kok cepet ya? Udah punya pacar belum?" *duh*
Dan selanjutnya,rangkaian acara layatan dimulai. Kami berdoa bersama semoga pakde khusnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan pun diberi ketabahan.
"Wilujeng tindak,Pakdhe..."
Rasullulah SAW menganjurkan kepada kita untuk bertakziah ke rumah duka agar kita juga teringat akan kematian. Karena menurut Imam Al-Ghazali,hal yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Dan hal paling jauh dari kita adalah masa lalu.
"Tiap yang bernyawa pasti akan mati"
Tak usah dinanti,ia pasti datang. Pertanyaannya,apakah kita siap??
Maka benarlah,mengingat mati adalah satu hal yang harusnya selalu kita lakukan. Kehidupan setelah mati, dipersiapkan sekarang, dalam hidup yang singkat ini.
Menjadi pilihan kita masing2,apakah akan mempersiapkannya dengan baik atau tidak? Apakah hidup ini hanya akan dijalankan dengan menuruti nafsu belaka? Ataukah menjalankannya dalam jalan kebenaran?
Semua perbuatan akan kita pertanggungjawabkan masing2. Ya,sendirian. Kelak di akhirat tak ada yang bisa menolong kita,tidak orang tua kita,kekasih kita,saudara2 kita,anak2 kita,atau sahabat2 kita. Tak ada yang dapat menolong kecuali amalan kita.
Di saat2 terakhir pemberangkatan jenazah pun, aku hanya terdiam memikirkan semua pertanyaan2 di atas. Apakah,aku sudah siap?
Good writings...
BalasHapusyoi thanks broo
Hapus