Maaf, Ku Tak Ingin Pergi
Untuk yang sudah pernah membaca
tulisanku sebelumnya tentang kesendirian, mungkin sudah paham permasalahan yang akan kubahas di
sini. Hari ini aku merasakannya lagi, perasaan ingin sendiri. Perasaan tak
ingin terlibat dalam pembicaraan dengan orang lain. Perasaan sedang tak ingin
berbasa-basi atau tersenyum palsu hanya agar tidak mengecewakan orang lain,
yang terkadang pun orang lain itu tak peduli pada kita. Perasaan ingin ‘diam’,
mengamati keadaan sekitar, mengendapkan semua kenangan untuk kemudian meramunya
menjadi sebuah kekuatan.
Peningkatan adrenalin yang dimulai sejak
pagi (bahkan mungkin sejak kemarin) karena akan maju presentasi kasus, membuat
otak ini penat dibuatnya. Dan benar saja, presentasi kami bisa dibilang ‘kacau’.
Sejak awal kami sudah menduga bahwa kasus kami akan menjadi sasaran empuk pembantaian (oke lebay). Apalagi persiapan kami yang sangat minimal karena belum fokus lagi setelah menjalani stase luar kota. Entah, banyak faktor yang memengaruhi. Aku sendiri sadar masing2 dari kami memiliki porsi kesalahan dalam kekacauan ini. Kesalahanku juga bisa dibilang tidak kecil. Maafkan, jika aku mengecewakan kalian ya teman-teman :”. Tapi apa daya, yang lalu biarlah berlalu, memang tak bisa diubah. Namun, kita harus bisa mengambil pelajaran, bukan? Apalagi belajar tentang kedokteran yang menuntut ‘kesempurnaan’.
Sejak awal kami sudah menduga bahwa kasus kami akan menjadi sasaran empuk pembantaian (oke lebay). Apalagi persiapan kami yang sangat minimal karena belum fokus lagi setelah menjalani stase luar kota. Entah, banyak faktor yang memengaruhi. Aku sendiri sadar masing2 dari kami memiliki porsi kesalahan dalam kekacauan ini. Kesalahanku juga bisa dibilang tidak kecil. Maafkan, jika aku mengecewakan kalian ya teman-teman :”. Tapi apa daya, yang lalu biarlah berlalu, memang tak bisa diubah. Namun, kita harus bisa mengambil pelajaran, bukan? Apalagi belajar tentang kedokteran yang menuntut ‘kesempurnaan’.
Lalu setelahnya, inilah yang
terjadi, perasaan ingin sendiri itu muncul lagi. Apalagi terbayang ujian stase
beberapa hari ke depan. Rasanya otak ku saat ini sedang tak ingin berpikir
tentang apapun, apalagi yang melibatkan emosi. Jadi, saat teman-teman lain
mengajak hang out, sekadar makan
bersama dan refreshing. Aku menghindar.
Bukannya aku tak ingin menikmati
kesenangan bersama kalian kawan, tidak. Justru aku sangat beruntung bisa
bersama kalian, para calon teman sejawat seperjuangan menghadapi badai
kehidupan koas. Jangan kalian pikir aku mengabaikan atau menghindari kalian. Sama
sekali tidak. Tapi seperti yang kukatakan, ini tentang diriku sendiri. Aku
butuh waktu untuk berkontemplasi dengan jiwaku. Dan aku pikir inilah saat yang
tepat. Apalagi esok adalah hari libur, kebahagiaan semu bagi koas.
Bisa saja, aku memaksakan untuk
ikut pergi. Tapi percuma, jiwaku tak akan ada di sana. Mungkin aku akan
terhibur sedikit. Namun setelah itupun biasanya justru aku akan merasa hampa. Seakan
ada masalah yang tak terselesaikan. Seakan ada hutang yang belum terbayar.
Dan di sinilah aku, terdiam dalam
kesendirian, menjadi pengamat kehidupan. Kembali mencari alasan untuk terus
bertahan. Sembari menuliskan catatan ini sebagai pengingat, bahwa aku tak
berjuang tanpa tujuan.
Komentar
Posting Komentar