“Kok sendirian, Dzer?”
Saya sering (sebenarnya hampir selalu) makan sendirian di tempat makan. Dan sudah terlalu sering saya mendengar kalimat di atas jika kebetulan ada teman yang saya kenal menyapa. Kalau itu masih di kampus sih gak masalah, cukup banyak orang yang mengisi meja makan hanya untuk dirinya seorang. Mungkin karena civitas akademika kampus memang sangat progresif pergerakannya. Tapi sih biasanya, yang makan sendirian adalah para lelaki. Maka tetap saja teman2 saya selalu heran melihat gadis manis nan imut ini makan sendirian di kantin *eh kok narsis -,-*
Terkadang,saya berhasrat untuk
makan dengan menu sedikit ‘bermutu’ di warung makan atau restoran yang agak
‘bonafid’ a.k.a ‘menguras kantong’ buat anak kos. Yah, sesekali memberi hadiah
untuk diri sendiri setelah lelah berjuang gak papa kan? Dan lagi-lagi, saya
pergi sendirian.
Warung makan di Jogja kebanyakan
didesain untuk tempat nongkrong anak muda, mengakomodasi banyaknya mahasiswa
yang menimba ilmu di Kota Pelajar ini. Maka biasanya anak2 muda itu akan datang
‘gerudukan’ bersama teman2nya untuk makan di suatu tempat. Saling bertukar
cerita dan tertawa lepas bersama sahabat. Atau ada pula yang sekadar mengadakan
rapat. Dan dengan santainya, saya akan duduk di meja, sendirian.
Lama kelamaan, hampir bisa
dipastikan saya akan menjadi pusat perhatian mereka yang datang gerudukan tadi.
Terlihat dari lirikan mereka yang curi-curi pandang ke arah saya dengan
ekspresi berbeda. Awalnya mungkin mereka akan mengira saya menunggu seorang
teman. Tapi hingga lama ‘teman’ yang mereka tunggu tak kunjung datang, mereka
lalu akan menyimpulkan sesuatu seperti:
“wah gila ni mbaknya makan
sendirian, gak takut diculik apa?”
“Mbak nya kenapa ya? Habis diputus
pacar?”
“Kasian dia gak punya temen.” *:p
“Eh itu adeknya terpisah dari orang
tuanya apa ya?” * -__-
“Eh mbak nya kok cantik, sendirian
pula, deketin aahh” *plak
Untung yang terakhir itu gak pernah terjadi, kalo ada yang
deketin juga paling ibu2 atau bapak2 karena udah kehabisan kursi kosong –“
Oke sebenarnya
kesimpulan2 itu hanya ada dalam angan pikiran saya. Gak pernah tuh saya nanyain
mereka secara langsung (ya keleus). Tapi dari pengamatan dan wawancara saya
pada beberapa orang, itulah yang dipikirkan kebanyakan orang jika melihat
seseorang, perempuan pula, makan sendirian di tengah pengunjung restoran yang
ramai.
Kalau
ditanya, kenapa? Muncullah beberapa alasan yang selama ini saya gunakan sebagai
tameng untuk kebiasaan ‘aneh’ ini:
*sejak kecil saya selalu diajarkan mandiri. Efek anak
tunggal mungkin ya..
*mungkin juga efek ke-introvert-an saya (sebenernya saya
ambivert sih), di mana kami lebih nyaman pergi sendiri, bisa lebih mengenali
diri sendiri dan lebih banyak mendapat ide ketika sendirian. Saaaaangat nyaman
* bukannya gak punya temen, tapi saya merasa ketika saya
ingin makan/pergi ke suatu tempat lalu mengajak teman saya, itu akan merepotkan
dia. Saya jadi merasa gak enak kalau mengganggunya.
*pergi sendiri itu melatih keberanian
Selain alasan2 ‘pribadi’ di atas, sebenernya ada hal yang
mau saya utarakan.
Tiap pribadi dilahirkan dengan keunikan masing2. Dipengaruhi
dan mempengaruhi lingkungan. Ada yang punya kepribadian kuat, berprinsip teguh,
namun ada pula yang mudah disetir. Selain itu, bila sudah dewasa biasanya
kepribadian itu cenderung menetap. Kalau kata orang Jawa: “Watuk ditambani mari
ning yen watak ginawa mati”.
Tiap orang pun pasti punya sisi baik dan buruk, tinggal mana
yang dominan. Kadang ada orang yang dicap berkepribadian ‘buruk’ di masyarakat.
Nah tentu kita tidak ingin begitu kan? Maka lingkungan pergaulan harus sangat
diperhatikan. Karena disadari atau tidak, itu mempengaruhi diri kita.
Waktu kecil, kita dibilang jangan pilih2 teman. Tapi kalo
saya pikir justru berteman itu harus memilih! Karena sekali lagi, takutnya kita
akan terseret arus kalau berteman dengan lingkungan yang tidak tepat.
Kaitannya dengan hal di atas, saya pikir itulah pentingnya
waktu untuk ‘sendirian’.
Bagaimanapun kita adalah makhluk
sosial. Dalam tiap kesempatan pasti akan berinteraksi dengan orang lain. Saat
berinteraksi itulah tanpa sadar kita terpengaruh oleh sikap dan pemikiran
orang-orang yang kita temui, baik itu pengaruh baik maupun buruk. Takutnya bila
kita terlena, tanpa sadar pula tiba-tiba kita sudah menyimpang dari jalan
kebenaran.
Nah, maka waktu untuk ‘sendirian’
menurut saya sangat berharga. Waktu itulah yang paling tepat untuk memilih dan
memilah apa-apa yang sudah kita dapat dari interaksi dengan orang lain, untuk
lalu memfilternya, menyesuaikan dengan kepribadian kita. Membuang hal-hal yang
tidak penting dan tidak sesuai dengan prinsip kita. Menentukan sikap kita
terhadap berbagai pendapat. Dengan cara itulah, menurut saya, kita akan bisa
menjaga kepribadian kita sesuai ‘warna’ kita.
Ada sedikit masalah di sini.
Terkadang, kita takut untuk dianggap ‘berbeda’. Takut untuk menentukan sikap.
Saya pun merasakannya. Namun ketika saya terlalu banyak bergaul dengan orang
lain dan hanya mengikuti arus, saya merasa kehilangan ‘warna’ saya. Just like becoming invisible. Tak
terlihat, tak dianggap, karena menjadi sama dengan kebanyakan orang. Dan lalu
akan muncul pertanyaan, “Buat apa saya hidup kalau begitu?”
Jadi, sendirian bukanlah hal yang buruk. Bukankah kita lahir
ke dunia ini juga sendirian? Dan kelak kita juga akan mempertanggungjawabkan
hidup kita di pengadilan akhirat sendirian pula? Bahkan keluarga dan sahabat
terdekat pun tidak dapat menolong kita?
Hmm, jadi besok lagi kalau ketemu saya lagi sendirian di
manapun, harap maklum yaa. Disapa aja, siapa tau saya lagi berbaik hati mau
nraktir. Atau kalau saya mau ditraktirin juga boleh.haha.
wkwkwwk dzer kamu benar-benar menginspirasiku :3
BalasHapusaku bahkan juga membenci game yang mengharuskan online dan berinteraksi dengan orang lain, aku main game karena aku ingin sendiri :D
Nah kan,kita kok setipe gini sih..wkwk
HapusYaa, tiap orang punya cara masing2 buat merasa nyaman.
Tunggu tulisan selanjutnya, kayaknya masih akan berlanjut tentang kesendirian ini. Mumpung masih sendiri *eh :p