Menulislah, Sebelum Menulis itu Dilarang

Sekitar seminggu yang lalu, diadakan seminar pendidikan agama di kampus saya. Hampir semua mahasiswa angkatan saya mengeluh karena seminar tersebut diadakan ketika hari libur (Sabtu, libur 1 Muharram). Namun ternyata, banyak manfaat yang bisa dipetik. Tema yang diberikan adalah tentang kewirausahaan, sebuah tema yang biasanya tak dilirik oleh kami, para mahasiswa kedokteran yang berpikiran pasti akan jadi dokter.
Salah seorang pengisi adalah dosen saya, lebih tepatnya dosen pembimbing skripsi saya (oh tidaaaak), yang baru saya tau jika ternyata beliau senang menulis dan memiliki usaha percetakan sendiri. Beliau telah menerbitkan beberapa buku karya beliau sendiri untuk pembelajaran tentang ilmu kedokteran terutama di bidang saraf. Selain itu beliau juga menampung tulisan beberapa kolega nya (termasuk ko ass) untuk diterbitkan melalui percetakan beliau (wah kesempatan nih :D).
Dan pertanyaan yang terlontar ketika itu adalah, bagaimana caranya seorang dokter spesialis yang sibuk luar biasa mengurus pasien (dan keluarga) masih sempat menulis buku? Saya tahu persis betapa sibuknya beliau, karena ketika mencari beliau untuk tandatangan saja sulitnya minta ampun. Bisa jadi seminggu mencari baru ketemu, itupun harus berlarian mengejar beliau yang sangat energik berpindah tempat di rumah sakit sebesar Sardjito (ups, malah curhat -,-).
Dan jawaban beliau sesungguhnya simpel. Beliau bercerita bahwa sejak muda beliau susah berbicara (cara bicara beliau ketika mengajar memang tidak terstruktur, loncat2 dan tidak fokus). Pokoknya kami mahasiswanya harus berpikir keras menerjemahkan maksud perkataan beliau. Mungkin karena saking jeniusnya ya. Lalu beliau bilang, dulu ada guru sekolahnya yang menyarankan beliau agar berlatih menulis untuk menutupi kekurangannya itu. Beliau pun mempraktikkan nasihat gurunya.
Beliau lalu memberikan tips kepada kami, untuk bisa menulis kita harus konsisten berlatih. Walaupun mungkin yang ditulis hanya 300 karakter/hari (dikit banget, twitter aja 140 karakter kan?), yang penting konsisten. Sedikit-sedikit tapi pasti. Tidak usah dulu berpikir rumit untuk buat buku, karena bisa mematahkan semangat di awal jika mengalami kesulitan. Dan beliau bilang bahwa semua orang bisa menulis, tidak usah takut.

Di awal, saya mencatat penjelasan2 beliau. Tapi ketika sampai tentang pembahasan menulis,, saya tertegun diam. Kenapa?
Lagi2 rasa bersalah melingkupi diri ini. Nasihat2 kepenulisan seperti itu sudah terlalu sering saya baca/dengar. Namun nyatanya? Masih mahasiswa gini juga belum bisa produktif T.T

Lagi2 diri ini mencoba memperbarui niat. Sudah terlambatkah?
Berkaitan dengan judul, saya jadi teringat sejarah. Ketika dulu orba berkuasa di Indonesia, media sangat dibungkam. Tak mungkinlah orang menulis macam2. Kini semua lebih bebas, dan seharusnya kita bersyukur dengan mengasah kreativitas kita. Dengan segala fasilitas yang ada, kenapa tidak dimanfaatkan?

Tulisan ini hanyalah untuk mengawali sebuah komitmen, bahwa saya ingin menjadi sebaik-baik orang yang bermanfaat bagi orang lain (khoirunnas anfa'uhum linnaas). Salah satu caranya adalah melalui tulisan.
Ya, mari kita berusaha bersama :)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer