Darah Juang: Antara Idealisme dan Realita Mahasiswa
Hari-hari ini
sedang dilaksanakan PPSMB (Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru)
atau ospek di UGM. Yaah, pasti seru! Mengingat tahun lalu saya bertugas sebagai
pemandu di PPSMB tingkat universitas, rasanya PPSMB memang memiliki banyak
kenangan. Waktu di mana mahasiswa pertama kali bersentuhan dengan dunia kampus.
Welcome to the jungle guys! *muka sinis*
Biasanya mahasiswa baru, atau yang di UGM disebut gamada (gadjah mada
muda), akan diberikan banyak tugas. Salah satunya menghapal lagu-lagu kampus.
Walaupun menghapal lagu perjuangan merupakan salah satu tugas ppsmb yang tak
banyak dihiraukan mahasiswa, entah kenapa
saya tetap terkesan. Mungkin karena dasarnya saya suka nyanyi. Dan syair
lagunya sendiri memang sarat makna.
Dulu waktu ospek
dikenalkan beberapa lagu. Yang utama tentunya Hymne Gadjah Mada, lalu ada Darah
Juang, Totalitas Perjuangan dan Viva Medika (lagu fakultas). Saya
terngiang-ngiang dengan lagu Darah Juang sampai sekarang. Setiap mendengar atau
menggumamkan lagu itu, merinding rasanya. Mungkin karena maknanya sangat dalam.
Menceritakan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Begini liriknya:
Di sini negri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur jua
Di negri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya, tergusur
dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Untuk membebaskan rakyat
Mereka dirampas haknya, tergusur
dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berjanji
Supaya lebih meresapi, memang sebaiknya
mendengarkan lagunya secara langsung. Silahkan diunduh di sini:
(ada versi ‘gaul’ dan versi khidmat, monggo
dipilih)
Bila kita cermati dari bait pertama, lagu ini
menceritakan ironi yang terjadi di Indonesia.
Negeri Indonesia memiliki tanah yang subur -kalau kata Koes Plus tanah surga,tongkat kayu dan batu jadi tanaman- karena banyaknya gunung api vulkanik. Seharusnya kita bisa berdaulat pangan. Pun dengan sumber daya alam yang lain. Hutan dengan ribuan jenis pohon dan satwa. Ekosistem paling lengkap di jagat raya. Belum lagi 2/3 wilayah Indonesia yang tertutup lautan. Semestinya nelayan Indonesia berjaya di negerinya sendiri.
Negeri Indonesia memiliki tanah yang subur -kalau kata Koes Plus tanah surga,tongkat kayu dan batu jadi tanaman- karena banyaknya gunung api vulkanik. Seharusnya kita bisa berdaulat pangan. Pun dengan sumber daya alam yang lain. Hutan dengan ribuan jenis pohon dan satwa. Ekosistem paling lengkap di jagat raya. Belum lagi 2/3 wilayah Indonesia yang tertutup lautan. Semestinya nelayan Indonesia berjaya di negerinya sendiri.
Namun seperti yang tertera di bait kedua, ternyata
tak semua rakyat Indonesia sejahtera. Kesenjangan sosial begitu nyata, terkadang
menimbulkan pertengkaran antar bangsa sendiri. Padahal kita berada di bawah
atap yang sama, Indonesia. Hal itu terjadi karena banyak penduduk yang
menganggur. Roda ekonomi tak berjalan sempurna. Uang negara tak sampai pada
rakyat kecil, terkadang mandek di kantong-kantong penguasa dzalim.
Masih banyak anak-anak putus sekolah yang terpaksa
bekerja di jalanan. Anak-anak bangsa yang seharusnya terpenuhi hak nya. Di
pundak merekalah masa depan Indonesia berada. Namun nyatanya, masa kecil mereka
harus terenggut dengan paksa. Seolah-olah pendidikan hanya milik si kaya.
Padahal, menurut seorang teman, ilmu itu seharusnya gratis dan dinikmati oleh
seluruh kalangan.
Ketika itu, ketika saya menjadi mahasiwa baru,
kenyataan yang dipaparkan dalam lagu Darah Juang ini terasa begitu menohok.
Maklum, sindrom mahasiswa baru. Dulu ketika SMA tak pernah terpikirkan
masalah-masalah bangsa yang pelik. Yang kami tahu hanya mencari nilai baik
untuk lulus Ujian Nasional dan masuk Perguruan Tinggi favorit, sebuah ironi
lain di bidang pendidikan.
Tapi kini, menyadari saya telah menjadi seorang
mahasiswa. Seseorang yang dianggap sudah dewasa dan mampu berpikir kritis dalam
bidangnya. Saya dihadapkan pada kenyataan bahwa, hanya sekitar 1% pemuda
Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Apalagi,
alhamdulilah, mengetahui saya menjadi 1 dari sedikit pemuda yang kuliah di UGM,
universitas perjuangan dengan sejarah yang panjang.
Sebagai sebuah universitas negeri, tentulah UGM
diberi subsidi yang sangat besar oleh negara. Sebuah data dari kemendikbud
tahun 2013 mengatakan bahwa pemerintah mengeluarkan dana 2,7 triliun untuk
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Rp 2.700.000.000.000,00
saudara-saudara!! Apa artinya itu?
Uang sebanyak itu adalah uang negara yang notabene
merupakan uang rakyat juga yang digunakan untuk subsidi PTN. Kalau boleh saya
simpulkan, itu artinya mahasiswa PTN berhutang kepada rakyat. Kalaulah tidak
ada BOPTN pastinya biaya pendidikan tinggi akan sangat mahal. Bagaimana kita
akan membayar hutang tersebut? Maka sebenarnya rakyat Indonesia mengharapkan
banyak hal dari uang sebanyak itu. Kontribusi kita untuk negara sangat ditunggu
setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan. Rakyat berharap lulusan perguruan
tinggi dapat menjadi ahli-ahli pemecah masalah bangsa di bidangnya
masing-masing.
Itulah pula yang saya pikirkan ketika awal ospek
dahulu. Kebetulan jurusan saya di pendidikan dokter, saya membayangkan bahwa
saya bisa kuliah di sini dengan ‘murah’ itu karena ada pengorbanan dari pihak
lain. Maka setelah lulus saya harus mengabdi pada negara untuk kemajuan bangsa.
Saya membayangkan menjadi dokter di daerah terpencil yang akan berhasil
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di sana. Sehingga kelak bangsa
Indonesia bisa lebih produktif karena tingkat kesehatannya membaik.
Tapi yaa tidak untuk munafik, tiap individu pasti
punya keinginan masing-masing yang ingin dicapai dalam hidup. Pun mahasiswa FK,
saya tahu ada beberapa, kalau tidak bisa dibilang banyak, mahasiswa FK yang
ingin menjadi dokter hanya karena ingin mengejar kekayaan materi semata. Entah
mengapa, tapi opini yang sudah lama berkembang di masyarakat seperti itu.
Menjadi dokter berarti kekayaan, kehormatan, prestise..huft. Padahal seharusnya tidak begitu. Ngono yo ngono ning yo ojo ngono. Bukan berarti saya sendiri gak
doyan duit, namun saya pikir alangkah tidak etisnya ketika motivasi menjadi
dokter itu murni karena uang. Niat awal harusnya berangkat dari rasa
kemanusiaan.
Maka seharusnya sejak awal, jurusan apapun itu, ditanamkan
bahwa kita ini ngutang sama rakyat Indonesia. Yaa harusnya kita bayar ke mereka
dengan kontribusi untuk bangsa. Jadilah cendekiawan yang memberikan banyak
solusi untuk masalah bangsa. Untuk masalah rezeki, saya sendiri sudah pasrah
sama Allah. Lagian apasih gunanya menumpuk-numpuk materi/harta sementara orang
lain di sekitar kita masih banyak yang sengsara? Bukankah manusia yang paling
baik itu adalah manusia yang bisa bermanfaat untuk orang lain?
Contoh yang paling saya kagumi untuk kasus ini mungkin
adalah pak Anies Baswedan. Saya rasa beliau benar-benar mengerti tentang konsep
lulusan perguruan tinggi harus berkontribusi untuk negara. Dibuatnya program
Indonesia Mengajar. Berbondong-bondong lulusan sarjana rela mengajar di daerah
terpencil dengan gaji dan fasilitas seadanya.
Nah, lalu apa yang bisa kita lakukan? Luruskan lagi
niat kita. Jangan egois, tentukan tujuan hidup kita selaras dengan orang lain.
Maksudnya jangan lalu memaksakan kehendak sendiri, ingatlah bahwa dalam hidup
kita tak bisa lepas dari bantuan orang lain. Maka janganlah pula mengabaikan
orang lain. Renungkanlah makna lagu Darah Juang tadi. Niscaya kita akan selalu
ingat pada rakyat.
Terakhir, mengutip orasi Presiden BEM KM UGM pada
pembukaan PPSMB lalu, mas Yanuar memaparkan sumpah mahasiswa Indonesia yang
seyogianya menjadi landasan idealiasme tiap mahasiswa:
“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah bertanah air satu, tanah
air tanpa penindasan.
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbangsa satu, bangsa
yang gandrung akan keadilan.
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbahasa satu, bahasa
tanpa kebohongan.”
Komentar
Posting Komentar